Sabtu, 07 Juli 2012

INFO POLITIK: "Model Demokrasi" Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Yudi Latif mengatakan bahwa terdapat sesat pikir dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen I sampai IV karena para penggagas perubahan pada waktu itu hanya beranggapan ada satu model demokrasi. "Model demokrasi tidak hanya pemisahan kekuasaan (separation of power dalam trias politika) tapi juga ada model peleburan kekuasaan (fusion of power) dan yang terakhir inilah yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945 pra-amandemen dan lebih cocok dengan kondisi Indonesia," kata Yudi dalam "Pekan Konstitusi" bertema "UUD 1945, Amandemen, dan Masa Depan Bangsa" di Jakarta, Rabu. Menurut Yudi, UUD 1945 Amandemen I-IV telah menggunakan prinsip demokrasi yang memisahkan kekuasaan karena Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang dalam konstitusi pra perubahan adalah lembaga tertinggi negara, sudah tidak lagi menjadi pemegang kedaulatan rakyat. "Dulu kita menggunakan sistem peleburan kekuasaan ini, MPR adalah lembaga di mana semua kekuatan (eksekutif, yudikatif, legislatif) duduk bersama. Di lembaga ini pula, daerah dan golongan yang tidak terwakili oleh partai dapat direpresentasikan oleh utusan yang dipilih," kata dia. Yudi berpendapat bahwa sistem demokrasi yang dipilih oleh pendiri bangsa berdasar pada asas keterwakilan, bukan keterpilihan. Asas keterpilihan menurut dia hanya cocok diterapkan dalam suatu negara dengan penduduk yang relatif homogen seperti Amerika Serikat. "Dengan sosiologi masyarakat Indonesia, seharusnya yang paling cocok adalah asas keterwakilan, karena dengan sistem multi partai seperti sekarang, tidak semua lapisan masyarakat terwakili oleh partai," kata Yudi. Lebih jauh, Yudi mengatakan bahwa dalam model peleburan kekuasaan, presiden tidak bisa membuat haluan kebijakan sendiri sesuai dengan platform partainya karena presiden adalah mandataris MPR. "Karena MPR, sebagai institusi kekuasaan tertinggi yang bisa diakses semua pihak, adalah pemegang kedaulatan tertinggi, maka di tangan lembaga inilah haluan kebijakan dibangun dan adalah tugas presiden untuk melaksanakannya," jelas dia. Menurut Yudi, demokrasi keterpilihan atau demokrasi mayoritas hanya cocok diterapkan di negara dengan jumlah partai yang tidak terlalu banyak. Di negara itu rotasi kekuasaan di eksekutif dapat terjamin. "Di Amerika Serikat, jika sekarang Partai Demokrat yang berkuasa, hampir bisa diprediksikan bahwa satu atau dua periode berikutnya Partai Republik akan menggantikannya. Sedangkan di Indonesia terdapat banyak partai dan golongan kecil lain yang sulit untuk terpilih, dan hak-hak mereka inilah yang terancam," kata Yudi. Hak-hak minoritas di Indonesia hanya akan terjamin jika digunakan asas keterwakilan. Mereka dapat dipilih menjadi anggota MPR tanpa harus bertarung dengan kekuatan besar partai di pemilu. "Empat amandemen yang sudah kita lakukan menunjukkan bahwa kita kurang jernih melihat persoalan, yang ada dalam benak reformis adalah membatasi kekuasaan presiden yang dinilai terlalu besar, padahal kesalahan Soeharto sebagian besar hanya pada praktik," kata Yudi. Dia mencontohkan bagaimana Soeharto bisa memilih 100 anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI) yang dipermasalahkan kaum reformis. Padahal hak-hak itu tidak diatur oleh konstitusi dan oleh karena itu persoalan terletak pada praktik. Namun Yudi kemudian menegaskan bahwa kesalahan masa lalu adalah proses yang harus dilalui, agar bangsa Indonesia dapat belajar dari kesalahan bahwa tidak semua sistem dari negara luar bisa diterapkan di negara ini. "Indonesia harus mempunyai jalan kemajuan sendiri, kemajuan yang berjangkar dari moral, dari kondisi sosiologis Indonesia yang khas," tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar